Tumpeng Santri di Ngrayun: Simbol Kebersamaan dan Syukur dalam Serasehan Hari Santri 2025

PONOROGO – Peringatan Hari Santri Nasional 22 Oktober 2025 di Kecamatan Ngrayun, Kabupaten Ponorogo, berlangsung dengan nuansa istimewa. Majelis Wakil Cabang Nahdlatul Ulama (MWC NU) Kecamatan Ngrayun tak hanya menggelar apel peringatan, namun juga menyelenggarakan serasehan kebangsaan dan keagamaan yang menyatukan seluruh elemen Nahdlatul Ulama dan masyarakat setempat.

Bertempat di halaman Kompleks Yayasan Al-Falah Ngrayun, acara ini diikuti oleh seluruh banom (badan otonom) NU, mulai dari GP Ansor, Banser, Fatayat NU, Muslimat NU, IPNU, IPPNU, hingga lembaga-lembaga pendidikan yang bernaung di bawah NU. Tidak ketinggalan, 15 ranting NU se-Kecamatan Ngrayun turut hadir dengan semangat yang membara, menjadikan acara ini sebagai simbol kekuatan akar rumput NU dalam merawat tradisi dan nasionalisme.

Serasehan ini tak hanya menghadirkan suasana diskusi intelektual dan refleksi sejarah Hari Santri, tetapi juga menjadi momen kebudayaan yang sangat berkesan, ditandai dengan kehadiran puluhan tumpeng dari berbagai elemen masyarakat.

Tumpeng Sebagai Simbol Persatuan dan Doa

Salah satu sorotan utama dalam serasehan ini adalah deretan tumpeng yang memenuhi area kegiatan. Tumpeng-tumpeng tersebut dibawa secara sukarela oleh berbagai pihak: dari pengurus ranting, banom, lembaga pendidikan, hingga sumbangan pribadi warga.

Jumlah tumpeng yang mencapai puluhan buah menjadi simbol kuat akan rasa syukur, semangat berbagi, dan kebersamaan antarwarga NU dan masyarakat sekitar. Tidak ada kompetisi, tidak ada pamer semua tumpeng disajikan dengan niat yang sama: menghaturkan rasa terima kasih kepada Allah SWT dan mengenang perjuangan para ulama serta santri terdahulu.

Dalam konteks kebudayaan Jawa, tumpeng bukanlah makanan biasa. Ia adalah representasi dari falsafah hidup, hubungan vertikal antara manusia dan Tuhan, serta hubungan horizontal antara sesama manusia. Bentuknya yang kerucut mengarah ke atas melambangkan harapan dan doa kepada Sang Pencipta, sedangkan lauk-pauk di sekelilingnya merepresentasikan keberagaman nikmat duniawi yang harus disyukuri dan dibagi bersama.

Makna Mendalam dalam Setiap Tumpeng

Beberapa tumpeng disusun megah, lengkap dengan hiasan sayur dan lauk tradisional khas desa-desa di Ngrayun. Beberapa lagi hadir dalam bentuk sederhana namun sarat makna. Ada tumpeng mini, tumpeng nasi kuning, nasi putih, hingga kreasi berbentuk kitab dan simbol bendera merah putih.

Menurut panitia, seluruh tumpeng itu tidak diperlombakan. “Tumpeng ini bukan ajang kompetisi, tapi ekspresi. Masing-masing ranting, banom, dan lembaga membawa tumpeng dengan semangatnya sendiri. Ini adalah tasyakuran bersama, karena santri adalah kekuatan sosial yang harus terus dijaga,” ujar salah satu panitia serasehan.

Tumpeng-tumpeng tersebut juga dilengkapi tulisan doa, kutipan perjuangan, hingga pesan-pesan moral. Beberapa tumpeng bahkan dibawa oleh anak-anak muda IPNU-IPPNU yang dengan bangga menjelaskan filosofi tumpeng mereka kepada pengunjung.

Serasehan: Ruang Refleksi dan Konsolidasi Gerakan Santri

Di sela-sela sajian budaya tumpeng, acara serasehan menjadi wadah yang penting dalam menguatkan kembali peran santri di era kontemporer. Diskusi yang berlangsung melibatkan berbagai tokoh NU, perwakilan banom, hingga perwakilan dari Forum Pimpinan Kecamatan (Forpimka) terdiri dari Camat, Kapolsek, dan Danramil Ngrayun.

Ketua Tanfidziyah MWC NU Ngrayun dalam sambutannya menyatakan bahwa Hari Santri bukan sekadar seremoni tahunan, tetapi saat untuk memperbarui komitmen perjuangan dalam menjaga bangsa dan agama.

“Santri bukan hanya simbol religius, tapi aktor sejarah. Dari Resolusi Jihad 1945 hingga pembangunan karakter bangsa hari ini, santri selalu hadir dan siap sedia. Hari ini, kita buktikan bahwa spirit itu masih menyala, dan tumpeng ini adalah simbol kebersamaan perjuangan,” tegasnya.

Kehadiran Forpimka dan Apresiasi Pemerintah

Kehadiran Camat, Kapolsek, dan Danramil dalam acara ini memberikan nuansa khusus. Dalam sambutannya, Camat Ngrayun mengapresiasi kekuatan kultural NU dalam merawat nilai-nilai kebangsaan melalui pendekatan yang damai dan membumi.

“Saya kagum dengan acara ini. Serasehan dan tumpeng ini bukan hanya budaya, tapi strategi komunikasi sosial yang luar biasa. Inilah cara NU menjaga Indonesia dari desa-desa, dari tempat seperti Ngrayun ini. Sangat patut diapresiasi,” ujarnya.

Kapolsek dan Danramil juga menyatakan kesiapan mendukung kegiatan-kegiatan keagamaan dan kebudayaan yang menjaga persatuan serta ketertiban masyarakat.

Makan Bersama: Puncak Kebersamaan dalam Kesederhanaan

Setelah acara diskusi dan sambutan usai, seluruh peserta duduk bersama di atas tikar yang dibentangkan di halaman yayasan. Mereka menikmati tumpeng secara berjamaah, tanpa sekat antara pengurus, aparat, santri, dan masyarakat.

Suasana makan bersama ini menjadi puncak kehangatan acara. Tidak ada protokol yang kaku. Semua larut dalam kebersamaan. Di sinilah makna tumpeng benar-benar terasa sebagai jembatan kebersamaan dan pemersatu antarwarga.

“Saya datang sebagai warga biasa, membawa tumpeng seadanya. Tapi saya merasa dihargai, bisa duduk sejajar dengan para tokoh dan aparat. Beginilah seharusnya semangat Hari Santri rendah hati, inklusif, dan membumi,” ungkap ibu Siti seorang ibu dari Muslimat NU setempat.

Tumpeng Sebagai Dakwah Kultural NU

Melalui tumpeng, NU di Ngrayun memperlihatkan bagaimana dakwah kultural bisa menjadi media efektif untuk memperkuat nilai keagamaan sekaligus kebangsaan. Tidak perlu ceramah panjang, tumpeng sudah cukup berbicara: tentang syukur, tentang persaudaraan, dan tentang cinta tanah air.

Tumpeng bukan sekadar nasi dan lauk-pauk, tetapi lambang dari santri yang tidak hanya hidup untuk dirinya, tapi juga untuk masyarakat dan bangsa. Ia adalah perwujudan semangat berbagi, kesetaraan, dan kesalehan sosial—nilai-nilai yang terus dijaga oleh NU sejak dulu.

Penutup: Santri, Tumpeng, dan Masa Depan Bangsa

Serasehan Hari Santri 2025 di Kecamatan Ngrayun bukan hanya menjadi ajang nostalgia sejarah atau rutinitas tahunan. Lebih dari itu, ia menjadi penanda bahwa santri tetap relevan, dan bahkan semakin strategis dalam menjawab tantangan bangsa.

Dari tumpeng-tumpeng yang disusun dengan cinta, dari diskusi yang penuh semangat, hingga doa yang diaminkan bersama, semuanya berpadu menjadi energi spiritual dan sosial yang sangat kuat. Inilah wajah NU di akar rumput sederhana, tetapi kuat dalam makna.

Dan dari lereng pegunungan Ngrayun, kita diingatkan bahwa perjuangan santri bukan hanya di pesantren, tetapi juga di tengah masyarakat, dengan tumpeng, dengan serasehan, dan dengan hati yang terus mencintai tanah air.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

0

Subtotal